UMKM dan Starup
Mirip tapi beda, beda tapi sama
UMKM dikenal sebagai usaha yang tumbuh secara alami, mengakar di komunitas, dan berproses perlahan namun pasti. Di sisi lain, startup muncul dengan citra yang modern, serba cepat, berbasis teknologi, dan sering kali terkesan “melompat” melewati tahapan-tahapan konvensional. Pertentangan antara keduanya kerap muncul—UMKM dianggap tradisional dan lambat berkembang, sementara startup dinilai ambisius tapi belum tentu berkelanjutan. Padahal, keduanya punya tempat dan peran masing-masing dalam ekosistem ekonomi. Lalu, apa sebenarnya yang membedakan UMKM dengan startup secara mendasar?
Perbedaan utama antara UMKM dan startup terletak pada cara mereka tumbuh dan menyelesaikan masalah. UMKM umumnya dibangun untuk menciptakan stabilitas ekonomi, fokus pada keuntungan harian, dan bertumpu pada kekuatan relasi lokal. Sementara itu, startup lahir dari sebuah ide yang mencoba menjawab masalah besar dengan cara baru, sering kali lewat teknologi, dan bertujuan untuk tumbuh cepat serta menjangkau pasar yang luas. Jika UMKM berkembang dengan irama yang tenang dan bertahap, maka startup bergerak cepat, penuh risiko, tapi juga penuh peluang. Meski terlihat bertolak belakang, keduanya tidak saling meniadakan—bahkan bisa saling mengisi. Banyak UMKM hari ini yang mulai bertransformasi menjadi startup, memanfaatkan digitalisasi untuk memperluas pasar dan meningkatkan efisiensi.
Apa itu Startup?
Sehingga, Startup adalah sebutan untuk perusahaan rintisan yang masih berada di tahap awal pengembangan. "Biasanya", sekali lagi saya tekan kan bahwa "Biasanya" startup bergerak di bidang teknologi dan berfokus pada inovasi serta pemecahan masalah dengan cara yang lebih cepat, efisien, dan kreatif dibanding perusahaan tradisional.
Baru berdiri: Umumnya masih berusia di bawah 5 tahun.
Berbasis teknologi: Banyak menggunakan internet, aplikasi, atau software.
Skalabilitas tinggi: Punya potensi berkembang sangat cepat dalam waktu singkat.
Inovatif: Membawa solusi baru atau cara baru dalam menjalankan bisnis.
Apa itu UMKM?
Menurut PP
No. 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan
UMKM:
PP ini mengatur kriteria yang lebih resmi
dan terukur mengenai UMKM. Kategorisasi UMKM dalam peraturan ini didasarkan
pada:
a. Kriteria
Modal Usaha:
Kategori |
Modal Usaha (tidak termasuk tanah &
bangunan tempat usaha) |
Usaha Mikro |
Maksimal Rp1 miliar |
Usaha Kecil |
Lebih dari Rp1 miliar sampai Rp5 miliar |
Usaha Menengah |
Lebih dari Rp5 miliar sampai Rp10 miliar |
b. Kriteria
Hasil Penjualan Tahunan:
Kategori |
Penjualan Tahunan |
Usaha Mikro |
Maksimal Rp2 miliar |
Usaha Kecil |
Lebih dari Rp2 miliar sampai Rp15 miliar |
Usaha Menengah |
Lebih dari Rp15 miliar sampai Rp50 miliar |
- Definisi: Setiap orang yang memiliki jiwa kewirausahaan dan memiliki ide bisnis dan/atau memiliki rintisan usaha
- Fokus pengembangan: Meliputi pelatihan ide usaha (inkubasi awal, pendampingan, dan sosialisasi kewirausahaan).
- Definisi: Wirausaha yang sedang merintis usahanya untuk menjadi mapan, dan sudah terdaftar dalam Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara elektronik
- Periode: Usaha belum cukup lama (kurang dari 42 bulan sejak terdaftar).
- Definisi: Wirausaha yang usahanya telah berjalan lebih dari 42 bulan sejak terdaftar secara elektronik dan telah berkembang—terbukti dengan mempekerjakan karyawan
- Fase: Usahanya stabil dan siap memperluas skala.
UMKM VS Starup?
kemudian, Apakah UMKM dapat BERTRANSFORMASI menjadi Starup?
- Tidak hanya menjual produk yang sama,
tapi menciptakan nilai tambah unik.
- Contoh: kripik tempe rasa fusion
(keju–sambal matah), atau limbah jadi briket/kompos premium.
- Startup lahir dari pemecahan masalah
dengan cara baru.
2. Skalabilitas Bisnis
- Model bisnis bisa diperbanyak dan
diperluas ke daerah lain tanpa peningkatan biaya secara linear.
- Contoh: aplikasi pengelolaan limbah bisa
digunakan di 10, 100, atau 1000 desa tanpa butuh 1000 operator.
3. Digitalisasi Sistem
- Mulai dari produksi, promosi, penjualan,
hingga layanan pelanggan berbasis digital.
- Memiliki jejak digital seperti: website,
platform toko, media sosial aktif, dashboard internal.
- Bukan hanya "jual online", tapi
digital sebagai core system.
4. Validasi Pasar
- Sudah menguji apakah produk/layanan
benar-benar dibutuhkan pasar.
- Ada data pembelian, feedback pelanggan,
pertumbuhan demand.
5. Visi Pertumbuhan Cepat
- Target pertumbuhan bukan hanya
"tambah omzet", tapi menjangkau pasar yang lebih luas
dalam waktu lebih singkat.
- Ada roadmap ekspansi: regional →
nasional → ekspor.
6. Sistem Operasi Terukur
- UMKM umumnya informal, sedangkan startup
membangun sistem kerja: SOP, logistik, produksi, manajemen tim.
- Semua proses bisa diduplikasi, dilacak,
dan dikembangkan.
7. Model Bisnis yang Fleksibel & Terdokumentasi
- Tidak hanya jual putus, tapi bisa:
- Langganan (subscription)
- Kemitraan (reseller,
B2B)
- Monetisasi sistem/platform
(contoh: ReWaste, Cemilan.id)
8. Kemampuan Menarik Pendanaan
- UMKM biasa bergantung pada modal
sendiri/hibah.
- Startup membangun cerita bisnis dan
traction untuk bisa menarik investor, inkubator, atau pendanaan kreatif.
9. Tim Multidisiplin
- Mulai melibatkan keahlian lain:
teknologi, desain, marketing digital, keuangan.
- Tidak hanya dikelola keluarga, tapi mulai
membentuk tim kolaboratif.
10. Mindset Pertumbuhan dan
Eksperimen
- Berani uji pasar, gagal cepat, dan
perbaiki cepat (lean startup).
- Tidak stagnan di zona nyaman, tapi aktif mencari peluang baru.
Berdasarkan analisi dari
indikator-indikator dapat dibuat sebuah form check list terkait kesiapan UMKM
untuk dapat bertranformasi menjadi Starup,
“UMKM yang ingin menjadi
startup harus berhenti berpikir sebagai ‘penjual barang’, dan mulai berpikir
sebagai pemecah masalah yang tumbuh cepat.”
🟢 UMKM
Konvensional
Bank Sampah “Bersih Mandiri” melayani warga sekitar, memilah
sampah, menjual hasil daur ulang ke pengepul. Tidak ada sistem digital.
Sifatnya komunitas.
🔴 Startup
“Bersih Mandiri” adalah platform digital yang menghubungkan pengguna
dengan jasa pickup sampah, dashboard pelaporan ke pemda, dan marketplace hasil
daur ulang. Ada sistem poin dan edukasi digital.
Aspek |
UMKM
Konvensional (Pelaku Usaha Umum) |
Startup
Pengolahan Limbah |
Tujuan Utama |
Memberikan layanan pengelolaan limbah secara
lokal |
Menciptakan solusi teknologi untuk
pengelolaan limbah yang masif |
Skala Operasi |
Terbatas pada satu wilayah atau komunitas |
Dirancang untuk tumbuh cepat dan menjangkau
banyak daerah |
Teknologi |
Manual atau semi-manual (misal bank sampah
konvensional) |
Menggunakan aplikasi, IoT, AI, dashboard
pelaporan digital |
Model Bisnis |
Pendapatan dari jasa langsung, produk daur
ulang |
Multi-stream: langganan, data, monetisasi
mitra, B2B/B2G |
Pendekatan |
Operasional & komunitas langsung |
Data-driven & teknologi sebagai alat
utama |
Sumber Pendapatan |
Penjualan barang hasil daur ulang, subsidi,
iuran |
Platform fee, pendataan, jasa teknologi,
kerja sama skala besar |
Pelanggan/Pengguna |
Warga lokal, komunitas, koperasi |
Masyarakat umum, UMKM, pemerintah kota,
sektor industri |
Tim & SDM |
Tim kecil dari masyarakat lokal |
Tim multidisiplin: tech, bisnis, lingkungan |
Pendanaan Awal |
Swadaya, bantuan hibah, koperasi |
Dana inkubasi, investor awal, CSR startup |
Pertumbuhan Bisnis |
Lambat & bertahap |
Cepat & bisa eksponensial jika
problem–solution fit tercapai |
Keunggulan |
Akar kuat di komunitas lokal, pendekatan
sosial |
Inovatif, bisa menjangkau wilayah luas,
skalabel |
Kelemahan |
Sulit berkembang luas tanpa dukungan besar |
Tingkat risiko tinggi, perlu validasi pasar
dan teknologi |
Berdasarkan data Komparasi tersebut dapat di ketahui bahwa
- UMKM pengolahan limbah fokus pada dampak langsung dan operasional komunitas.
- Startup pengolahan limbah menciptakan sistem terintegrasi yang bisa direplikasi secara luas dan cepat.
Sedangkan, Contoh Kasus Usaha Keripik Tempe Sebagai UMKM dan
Starup.
🔴 UMKM Konvensional
"Tempe Mak Ijah"
di Pasar Godean memproduksi kripik tempe dengan rasa gurih original. Dijual ke
warung sekitar dan dibawa ke pameran UMKM.
🔴 Startup
"Tempe Mak Ijah"
menjual kripik tempe modern (rasa keju, rumput laut, sambal matah) dalam
kemasan kekinian. Dipasarkan via Tokopedia, Shopee, dan Instagram. Bisa dipesan
via langganan mingguan dan tersedia fitur pre-order produk baru.
Aspek |
UMKM
Kripik Tempe Konvensional |
Startup
Kripik Tempe |
Tujuan Usaha |
Menjual produk makanan untuk keuntungan
harian |
Membangun ekosistem produksi &
distribusi makanan lokal secara digital |
Skala Operasi |
Terbatas di tingkat kampung/kecamatan |
Target pasar nasional atau global melalui
platform dan jaringan distribusi |
Produksi |
Manual atau semi-manual, berbasis rumah
tangga |
Menggunakan sistem produksi terstandar dan
otomatisasi terukur |
Teknologi |
Minim atau tidak menggunakan teknologi |
Memanfaatkan e-commerce, ERP produksi,
traceability, dan analitik data |
Model Bisnis |
Jual putus ke konsumen atau reseller lokal |
D2C (Direct to Consumer) melalui marketplace
sendiri, bundling, subscription box |
Branding |
Nama lokal, kemasan sederhana, tidak fokus
storytelling |
Brand kuat, visual konsisten, storytelling
lokal yang kuat |
Distribusi |
Offline: pasar tradisional, titip warung |
Online: marketplace, reseller digital,
sistem keagenan berbasis aplikasi |
Pelanggan |
Konsumen lokal, tetangga, toko kelontong |
Konsumen urban, pecinta makanan
sehat/tradisional, pasar ekspor |
Pendanaan |
Modal sendiri, pinjaman koperasi, atau dana
keluarga |
Potensial dari investor, inkubator,
crowdfunding |
Pertumbuhan |
Stabil dan bertahap |
Target tumbuh cepat, perlu validasi pasar
dan skalabilitas |
Inovasi Produk |
Varian rasa terbatas, dikembangkan sesuai
kemampuan produksi |
R&D untuk inovasi rasa, pengemasan
modern, dan diversifikasi pasar |
Tim & SDM |
Dikelola keluarga atau tetangga |
Tim profesional: produksi, digital
marketing, supply chain |
Citra Usaha |
Usaha rumahan yang berdikari |
Brand nasional yang mempromosikan kuliner
lokal ke pasar luas |
Berdasarkan data Komparasi tersebut dapat di ketahui bahwa,
- UMKM kripik tempe cocok untuk mempertahankan kearifan lokal dengan pengelolaan yang mandiri.
- Startup kripik tempe membawa potensi produk lokal naik kelas ke pasar nasional/global dengan dukungan teknologi, kemasan, branding, dan model distribusi baru.